Malay Atau Bukan Malay?
Baru-baru ini ditanya teman kerja dari Mainland China tentang ras saya, dan akhirnya jadi pingin nulis artikel ini.
(Di semua percakapan, saya si emoji koki)
👨: Many rich Indonesian-Chinese have apartments in SG.
👨🍳: Yes, a lot of rich businessmen own many condo flats here. Also back home.
👨: You’re not Indonesian-Chinese right? Then what are you? Indonesian-Indonesian? Indonesian-Malay?
Well, ini sulit juga sih. Kalau di negara sendiri, saya bisa dengan pede nulis ras sebagai Jawa. Tapi, kalau di Singapura, secara fisik saya memang mirip dengan orang yang dilabel rasnya sebagai Malay, tapi di sekolah saya nggak pernah diajar bahwa saya seorang Malay. Mau bilang Indonesian Pribumi/Native, tapi lagi-lagi kata Pribumi juga sangat ambigu.
Ini beberapa cuplikan cerita pas saya masih belum merasa harus mengaku sebagai keturunan Malay.
Percakapan dengan Agen Apartemen
👩: Rangga, are you Indonesian Chinese or Indonesian Malay? Or others? Cause HDB imposes race quota, we need to check.
👨🍳: Ehh, Indonesian Indonesian I guess? I’m not sure if I can be considered Malay.
👩: No Rangga you see, for the quota, 15% is for Malays and 5% is for others. It’d be easier if you claim you’re Malay lah.
👨🍳: Ok… I’d say I’m Indonesian Malay…
Percakapan dengan Tetangga
👨🍳: Hello auntie, I’m your new neighbor. Nice to meet you.
👵: Ah hello, from where?
👨🍳: Indonesia.
👵: This one always for rent… Always Indian tenants lah… Finally a Malay tenant…
👨🍳: (OK I think I must admit I’m Malay) Yes, yes. My friend also will join on Wednesday.
** Dua hari kemudian Isham yang sangat putih sampai Singapura **
👵: Ah… your friend ah? You Malay, but… (inspecting carefully) he’s not Malay ah?
👨🍳: … Maybe he has Chinese ancestors ma’am, that’s why his skin is so white. ** crying inside for having dark skin **
Kemudian, kalau belanja ke pasar, semua orang mencoba lebih akrab dengan memulai percakapan dalam bahasa Melayu. Minimal bahasa untuk sebut harga. Memang bahasa Melayu mirip banget sih dengan bahasa Indo, jadi cukup membantu dibandingkan “Inggris kumur-kumur”. OK, setelah itu saya mulai membiasakan mengaku Malay. Kalau ingin daftar sesuatu dan harus mengisi form, saya isi kolom ras dengan Malay.
Hingga suatu hari saya daftar ke Bank DBS, petugas bank-nya ternyata keturunan Malay. Tapi ternyata, mbak ini malah tidak menyetujui saya seorang Malay.
👨🍳: ** Oh ada kolom ras, aku isi Malay deh ** I’m done ma’am.
👩: ** Examining papers ** You’re Indonesian right?
👨🍳: Yes.
👩: You have Malay ancestry? Boleh cakap bahasa Melayu?
👨🍳: Uhh, I cannot.
👩: Ok, this one should be “Others” then. **jawaban “Malay” dicoret dan diganti jadi “Others”**
Jadi, saya orang Malay atau bukan? 😅
Oh ya, bonus cerita lain. Kalau kamu orang Indonesia keturunan Cina, mungkin kamu akan lebih sering menghadapi situasi awkward. Sebagai contoh, teman kantorku keturunan Cina, tapi dia nggak bisa bahasa Mandarin, hampir sama kayak orang keturunan Cina di Indo umumnya. Orang keturunan Cina di sini umumnya dari Mainland China, Malaysia, atau Singapura dan mereka bisa bahasa Mandarin, atau setidaknya bahasa Cina dialek lain seperti Hokkien. Memang cukup sedih bahwa Indonesia-Chinese dulu harus membuang identitas mereka untuk bisa hidup bebas dari kejahatan rasisme.
Imbasnya, kalau pesen makanan, atau ditanya di kantor, pasti dia di-approach dalam bahasa Mandarin duluan. 😆 Saking muaknya ditanya Mandarin, dia pernah terjebak di situasi super awkward pas ditanya oleh teman kerja Chinese.
👩: ** speaking Inggris kumur-kumur **
👨🍳: Sorry, no Mandarin. I only speak English.
👩: Ok… But I was speaking English.
👨🍳: Ooohhh …
👩: …
👨🍳: …
Sekian cerita random dari saya.